Breaking

Friday, June 12, 2020

KEHIDUPAN WONG CILIK DALAM NOVEL CARANG-CARANG GARING

Novel Bahasa Jawa

Kritik sastra merupakan suatu proses analisis terhadap karya sastra dengan menggunakan pendekatan, metode, dan teori tertentu. Sebenarnya yang disebut kritik sastra adalah wujud penilaian terhadap karya sastra yang menitikberatkan terhadap keindahan karya sastra. Proses kritik sastra harus menggunakan kerangka yang sudah pasti dan sudah ditentukan sebagai tahapan-tahapan analisis data.

Pembahasan ini akan menganalisis novel Carang-Carang Garing yang ditulis oleh Tiwiek S.A. Judul novel tersebut tidak sembarangan dipilih, namun mempunyai makna yang sesuai dengan isi ceritanya. Carang-carang garing merupakan pucuk-pucuk bambu yang sudah mengering yang gunanya hanya sebagai kayu bakar dan tidak bisa digunakan untuk bahan lainnya. Makna yang tersirat dari kata-kata tadi adalah sebagai pengibaratan kalau kehidupan orang kecil itu selalu sengsara, selalu menerima olok-olokan dari masyarakat, dan menerima perilakuan yang kurang mengenakkan dari orang kaya. Akhir cerita ini kesengsaraan tokoh masih ditambah lagi dengan masuknya penjara.

Proses mengritik karya sastra tidak lepas dengan teori sastra yang akan digunakan. Pemilihan teori yang akan digunakan untuk menganalisis karya sastra harus sesuai dengan unsur-unsur yang menonjol dalam karya sastra. Melihat isi novel Carang-Carang Garing maka teori sastra yang akan digunakan untuk menganalisis adalah teori realisme sastra. Menurut Gustaf Flaubert, realisme sastra yaitu teori sastra yang berusaha menggambarkan objek dengan apa adanya seperti apa yang disampaikan oleh penulis dan bersifat objektif.

 

KESENGSARAAN ORANG KECIL

Kesengsaraan sebagai orang kecil ini bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka harus bekerja keras demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hasil dari mereka bekerja hanya bisa digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari, tanpa bisa menyisihkan untuk tabungan masa depan. Contoh kehidupan orang kecil di kota adalah, seperti kaum buruh, tukang bangunan, tukang becak, dan sebagainya. Di desa juga banyak dijumpai kehidupan orang kecil, misalnya petani, pedagang, dan sebagainya.

Cerita dalam novel Carang-carang Garing seperti berikut. “Wong tuwane sakloron wis wiwit repet-repet mau budhal makarya. Bapake budhal menyang kutha narik becak dene simboke menyang pasar dodol bumbon (halaman 1).” Artinya, “Kedua orang tuanya sejak pagi sudah berangkat bekerja. Ayahnya berangkat ke kota untuk menarik becak, sedangkan ibunya ke pasar berjualan bumbu dapur.”

Tokoh ayah dalam novel Carang-Carang Garing tersebut bernama Suyatman dan ibu tersebut bernama Darminah. Keduanya hidup di pinggiran Kota Tulungagung. Kehidupan mereka bisa dikatakan kurang berkecukupan. Mereka harus bekerja setiap hari tanpa ada hentinya untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Suyatman harus mengayuh becaknya untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Hal tersebut mungkin masih bisa diterima, namun sang istri yaitu Darminah juga harus iku menganggung beban keluarga dengan memanggul barang dagangan berupa bumbu masakan ke pasar setiap pagi. Rutinitas seperti itu yang mereka lakukan setiap hari untuk mencukupi kebutuhan setiap hari dan masih banyak dijumpai dalam masyarakat sekarang. 

 

BERPERILAKU BURUK

Banyak sekali contoh perilaku buruk di dalam kehidupan bermasyarakat di dunia ini, contohnya sikap buruk di dalam novel Carang-Carang Garing adalah berjudi, bermain wanita, pelacuran, dan pembunuhan. Perilaku-perilaku tersebut sangat tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Semua unsur masyarakat pasti mengetahui perilaku buruk tersebut. Walaupun begitu, untuk mencegah hal-hal itu supaya tidak terjadi juga cukup sulit. Pemerintah sudah berusaha keras untuk mengurangi perilaku buruk dalam masyarakat, misalnya dengan menutup prostitusi.

 

Lan kaya umume tukang becak wektu iku, yen pas nyekel dhuwit njur padha main kertu. Papan sing kulina kaggo main ya neng terminl kono, utawa neng stasiun. Dhasar nasib becik, dina iku Suyatman menan najan ora akeh (halaman 74).”

Artinya:

“Dan seperti umumnya tukang becak waktu itu, kalau sedang memegang uang lalu semua bermain judi. Tempat yang biasa digunakan yaitu di terminal sana, atau si stasiun. Memang nasib baik, hari itu Suyatman menang walaupun tidak banyak.”

 

Data yang diambil dari novel Carang-Carang Garing tersebut menunjukkan perilaku buruk berjudi. Banyak kalangan masyarakat yang terjebak dalam dunia ini, karena mereka berpandangan pragmatis dalam menghadapi hidup. Manusia sering perkiran kalau hidup dengan baik dan sungguh-sungguh itu sangat sulit, sehingga mereka mengambil cara pintas. Suyatman sebagai seorang tukang becak juga merasa bagaimana harus mengayuh roda becaknya setiap hari demi mencari sesuap nasi. Maka dari itu, sering kali Suyatman mempunyai pemikiran pintas untuk mendapatkan uang secara pintas seperti berjudi. Hal-hal tersebut jika diamati masih juga dilakukan masyarakat.

 

KEPERCAYAAN KEPADA GUGON TUHON

Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia itu sudah memasuki masyarakat madya, yaitu masyarakat yang mulai memasuki zaman modern namun masih mempercayai kepercayaan nenek moyang di zaman tradisional. Banyak sekali kaum terpelajar di Indonesia yang sudah menyelasiakan studi di perguruan tinggi memasuki dunisa kerja di dunia nyata. Mereka berpikiran maju di dalam menghadapi dunia dengan alat-alat elektronik yang mereka miliki. Di sisi lain, anggota masyarakat yang sudah berusia tua masih belum bisa mengikuti perkembangan zaman dan tetap bertahan pada kepercayaan yang mereka percayai sejak dulu. Kedua hal itu yang enyebabkan Indonesia termasuk masyarakat madya. 

 

Pak Gumbreg nyedhak karo krenggosan. Tembunge, “Nek pengin slamet aja kokbacutne nggonmu amek urang. Aku mentas ngimpi ditemoni Mbah Brewok,” ujare Pak Gumbreg tumemen (halaman 29).”

Artinya:

“Pak Gumbreg mendekat dengan terengah-engah. Katanya, ‘Kalau ingin selamat jangan kamu teruskan mencari udang. Saaya baru saja didatangi Mbah Brewok,’ kata Pak Gumbreg sungguh-sungguh.”

 

Data yang ditampilkan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di daerah tempat tinggal Suyatman masih mempunyai kepercayaan pada arwah leluhur. Ketika di sungai banyak ditemukan udang, mereka beramai-ramai mengambil dan digunakan untuk lauk-pauk. Ketika masyarakat banyak yang melakukan hal itu, ada anggota masyarakat yang tidak suka yaitu Pak Gumbreg. Dia mempunyai akal untuk mengelabui masyarakat dengan mengatasnamakan leluhur, yaitu Mbah Brewok yang tidak mengizinkan udang-udang di sungai itu diambil. Masyarakat percaya dan menghentikan pencarian udang di sungai. Hal-hal itu sesuai dengan realitas di masyarakat. (*)

No comments:

Post a Comment