Breaking

Thursday, November 19, 2020

STRUKTUR PERGELARAN WAYANG KULIT PURWA

Struktur Pergelaran Wayang Kulit


Pergelaran wayang kulit selain mengandung unsur pergelaran juga mengandung struktur pergelaran. Jika sebuah unsur pergelaran adalah sebuah unsur pembangun yang bersifat dapat dilihat dan didengar, sedangkan struktur pergelaran merupakan kerangka pergelaran wayang kulit berupa tatanan dari awal sampai akhir dengan memperhatikan pakem pedalangan. Sebuah pergelaran wayang kulit yang memperhatikan pakem akan terdiri dari lima belas bagian yang berurutan. Struktur pergelaran wayang kulit secara terperinci seperti berikut ini.

 

TALU

Struktur pergelaran wayang kulit paling awal adalah talu. Struktur pergelaran wayang ini juga disebut awalan atau pembukaan. Sastroamidjojo (1964: 97) mengatakan, talu merupakan bagian awal dari pergelaran wayang yang diiringi dengan gendhing cucur bawuk laras pathet 6 yang berganti ke manyura. Gendhing-gendhing pengiring talu secara terperinci sebagai berikut, (a) Cucur Bawuk, (b) Pare Anom, (c) Ladrang Sri Katon, (d) Ketawang Sukma Ilang, (e) Ayak-Ayakan Manyura, (f) Slepegan Manyura, dan (g) Sampak Manyura.

Semua gendhing pengiring pada bagian talu ini mempunyai makna simbolik, sehingga tidak sembarangan ditentukan begitu saja. Sastroamidjojo (1964: 179) mengatakan, semua gendhing tersebut menggambarkan kehidupan manusia dalam dunia ini.

  • Gendhing Cucur Bawuk merupakan penggambaran manusia ketika masih berupa biji. Sebelum menjadi pembuahan manusia masih berupa sel laki-laki (mani) dan sel perempuan (telur). Dalam arti bahasa cucur itu merupakan kue atau jajanan tradisional Jawa dan bawuk merupakan alat kelamin seorang perempuan.
  • Gendhing Pare Anom ini melambangkan kehidupan manusia ketika masih bayi atau kecil. Kata pare mempunyai arti nama sebuah tumbuhan sedangkan anom merupakan usia muda.
  • Gendhing Ladrang Srikaton menunjukkan suatu keadaan yang nyata. Gendhing ini menggambarkan keadaan manusia yang sudah akil balig. (d) Gendhing Ketawang Sukma Ilang secara sepintas berati tidak bersukma lagi. Gendhing ini melukiskan masa temaja seseorang.
  • Gendhing Ayak-ayakan Manyura ini melambangkan kehidupan manusia ketika sudah dewasa. Kata ayak berarti nyiru yang maksudnya adalah segala sesuatu termasuk sikap orang dewasa itu sudah terpilih dan ditimbang dengan matang. Kata manyura merupakan waktu yang sudah hampir berakhir. Sehingga ketika dua kata itu digabungkan maka berarti suatu kehidupan bagi manusia yang sudah mapan dan mendekati akhirnya.
  • Gendhing Slepegan Manyura merupakan perwujudan manusia yang sudah berumur tua. Slepegan merupakan waktu yang sudah tidak cukup lagi atau sudah mendesak. Sehingga masa ini sudah menunjukkan betapa sempitnya kehidupan manusia di dunia ini.
  • Gendhing Sampak Manyura merupakan gendhing terakhir dalam bagian talu ini. Makna yang terkandung dalam gendhing ini adalah waktu yang sudah berakhir. Sampak berati bersama, sehingga pada keadaan ini merupakan bertemunya semua sukma mereka yang sudah meninggal. Manusia yang sudah meninggal akan menuju alam baka yang di situ menunjukkan tersebarnya seluruh sukma orang-orang yang sudah meninggal.

 

PANGGUNGAN

Struktur pergelaran kedua dalam pergelran wayang kulit adalah panggungan. Sastroamidjojo (1964: 180) mengatakan, panggungan ini merupakan bagian dari struktur pergelaran wayang kulit ketika dalang sudah memasuki tempat pergelaran atau panggung. Seorang dalang ketika memasuki panggung dengan mengucap mantra atau doa. Dalang selanjutnya akan memberikan tanda bahwa pergelaran wayang akan segera dimulai kepada para pengrawit, pesindhen, termasuk penonton.

 

MENGGERAKKAN KAYON

Ketika gendhing Sampak Manyura mulai sirep, dalang akan mencabut kayon dan menggerakkannya. Sastroamidjojo (1964: 181) mengatakan, pergerakan kayon ini merupakan proses penjelmaan manusia ke dunia ini. Sebelum dijabut (bedhol) posisi kayon akan tertancap di tengah kelit dan tegak itu menandakan suatu hal yang tetap. Gambaran ini menunjukkan suatu keadaan yang tenang sebelum manusia dihidupkan di dunia.

Kayon Wayang Kulit
Adegan Bedhol Kayon


Dalang akan menggerakkan kayon dengan bergelombang, yaitu tiga kali naik dan turun. Gerakan ini juga melambangkan kondisi dalam fase kehidupan manusia. Sastroamidjojo (1964: 181) mengatakan, gelombang kayon itu melambangkan penjelmaan manusia dengan kuasa Tuhan, gelombang pertama merupakan hidup sang ayah, gelombang kedua merupakan hidup sang ibu, dan gelombang ketiga merupakan hidup anak di dunia fana.

 

JANTURAN

Janturan merupakan adegan dimana seorang raja dihadap oleh beberapa punggawa kerajaan untuk membahas situasi kerajaan dan merencanakan sesuatu untuk ke depannya. Adegan ini dibuka dengan dalang mempersiapkan dua bedayan putri yang muncul di paseban kerajaan dan mengaturkan sembah kepada rajanya. Hal itu disusul dengan datangnya para punggawa kerajaan yang lain. Maka adegan ini juga disebut jejeran.


Adegan Jejeran Wayang Kulit
Adegan Jejeran Wayang Kulit


Ketika adegan janturan ini dilakukan, dalang akan mengucapkan suatu perkataan yang menggunakan bahasa sastra. Penggunaan istilah bahasa sastra ini karena kalau dipahami memang bukan bahasa sehari-hari. Menurut Sastroamidjojo (1964: 184), janturan disebut juga sastra pinathok yaitu suatu uraian yang sudah pasti yang bisa diperdengarkan di gereja ketika dilaksanakan kebaktian. Begitu tinggi kedudukan janturan ini, sehingga disandingkan dengan doa dalam acara keagamaan. Sehingga ucapan janturan ini pada setiap pergelaran wayang akan sama.

 

KEDHATONAN

Adegan kedhatonan ini merupakan struktur pergelaran wayang kulit yang menunjukkan seorang raja ketika selesai bermusyawarah di sitinggil bersama punggawa kerajaan dan kembali ke dalam kedhaton. Menurut Sastroamidjojo (1964: 191), adegan kedhatonan ini akan menumbuhkan rasa percintaan. Rasa tersebut tumbuh sebagai rasa keseimbangan pada diri seorang raja. Sorang pemimpin itu harus bersifat adil dan bisa menempatkan diri sesuai kedudukan. Ketika dia sebagai raja harus mengabdikan diri kepada pengikutnya, sedangkan di saat menjadi suami dia harus bisa memberikan nafkah untuk keluarganya.

 

PASEBAN JAWI

Adegan ini mengambil nama sebuah tempat dalam sebuah pola bangunan keraton. Paseban jawi dalam pola bangungan keraton juga disebut penangkilan. Dalam adegan ini para petinggi kerajaan yang sudah ikut bermusyawarah pada saat janturan, maka akan menyusun siasat untuk melancarkan rencana yang sudah disepakati. Menurut Sastroamidjojo (1964: 193), agedan ini melambangka suatu keadaan ketika menjelang bayi lahir. Orang tua akan mempersiapkan dengan sepenuh hati, walaupun sulit dan berat akan ditempuh.


Adegan Paseban Jawi
Adegan Paseban Jawi

 

JEJER SABRANGAN

Jejer sabrangan merupakan wujud penyeimbang dari lakon pergelaran wayang yang dipertunjukkan. Ketika ada tokoh tanah Jawa sebagai pusat cerita, maka ada tokoh dari tanah sabrang yang menentang. Penentangan ini terjadi karena sikap kedua belah pihak ini berlawanan. Menurut Sastroamidjojo (1964: 193), tanah sabrang yang digambarkan ini belum jelas kedudukannya, misal daerah di luar Jawa atau Indonesia. Persaingan antara raja sabrang dengan raja tanah Jawa merupakan wujud pergolakan dalam tubuh manusia, yaitu kebaikan dan keburukan selalu berkecamuk.

 

PERANG GAGAL

Adegan perang gagal terjadi antara pasukan dari tanah Jawa yang bertemu dengan pasukan tanah sabrang. Kedua pasukan ini bertarung untuk mempertahankan pendapat atau pendirian masing-masing. Pihak raja tanah Jawa merupakan perlambang dari kebaikan, sedangkan pihak raja tanah sabrang merupakan perlambang keburukan. Menurut Sastroamidjojo (1964: 195), dalam hidup manusia perang gagal ini menunjukkan suatu kehidupan remaja yang mendapatkan rintangan yang tidak terduga. Semua itu bisa dilalui dengan baik jika seseorang memiliki keteguhan hati.


Adegan Perang Gagal
Adegan Perang Gagal

 

GARA-GARA

Nama adegan ini adalah gara-gara, sehingga sudah nampak arti dari kata tersebut. Gara-gara berarti masalah, bisa juga merupakan ujian dalam kehidupan. Tidak semua masalah itu bisa diselesikan oleh diri sendiri dan membuat diri menjadi bingung. Sastroamidjojo (1964: 195) menggambarkan keadaan ini dengan kata pepetenging ati dan ambebilung.


Adegan Gara-gara
Adegan Gara-gara

 

SATRIA MENGHADAP PANDHITA

Semua ujian dalam hidup itu ketika tidak bisa diselesaikan sendiri, maka harus dimintakan tolong kepada orang lain untuk menyelesaikannya. Orang yang bisa menyelesaikan permasalahan orang lain itu tidak sembarangan, tentu ada kriteria misal pemuka agama. Pada zaman dahulu, mereka disebut pandhita yaitu seseorang yang orang yang sudah menep pikire (tidak mementingkan duniawi). Sastroamidjojo (1964: 195) mengatakan, pandhita merupakan perlambang sebuah kedudukan guru bagi bangsa Ketimuran yang memberikan petunjuk ke arah kesempurnaan hidup. Dalam adegan ini seorang satria diiringi oleh panakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) yang melambangkan kejujuran satria dalam mencapai tujuan dan didasari kesusilaan, kesabaran, dan kebulatan tekad tanpa kejahatan.

 

PERANG KEMBANG

Perang kembang ini merupakan adegan yang ditunjukkan dengan peperangan antara satria dengan raksasan. Dalam pergelaran wayang, raksasa sebagai musuh satria bejumlah empat. Sastroamidjojo (1964: 196) mengatakan, keempat raksasa itu melambangkan sifat buruk manusia yaitu malas, loba, bengis, dan tidak berperikemanusiaan. Beberapa pergelaran wayang kulit ada yang menunjukkan kalau yang menghadang jalannya satria itu adalah penjelmaan dari dewa dan akhirnya memberikan anugerah kepada satria tersebut.


Adegan Perang Kembang
Adegan Perang Kembang

 

JEJER SESINTREN

Jejer Sesintren merupakan adegan jejer yang terakhir dalam pergelaran wayang kulit. Adegan ini merupakan bentuk penjelasan atau pokok dari kehidupan. menurut Sastroamidjojo (1964: 197), adegan ini merupakan bentuk penegasan dari hidup manusia, yaitu manusia akan selalu diuji atas kekuatan, keteguhan, kejujuran, dan keuletan. Tentu saja semua itu tidak berjalan dengan mudah, namun apabila bisa melalui akan tinggi derajadnya.

 

ADEGAN TERAKHIR

Nama yang diberikan pada adegan ini merupakan hal apa adanya, yaitu adegan terakhir. Memang dalam adegan ini pergelaran wayang sudah mencapai anti-klimaks dan memberikan suatu kepuasan. Pada pertunjukan wayang suatu kepuasan itu akan muncul ketika tokoh baik bisa mengalahkan tokoh yang buruk. Sastroamidjojo (1964: 199) mengatakan, adegan ini merupakan penggambaran hidup manusia yang sudah menjelang ajal atau kematian. Di akhir kehidupan manusia tidak ada hal yang paling diinginkan kecuali kepuasan atau kebahagiaan karena sudah bisa menuntaskan segala kewajiban di dunia ini.


Adegan Perang Brubuh
Adegan Perang Brubuh

 

TANCEP KAYON

Adegan ini ditandai dengan dalang menancapkan kayon pada tempat dan kedudukan semula. Hal ini menunjukkan bahwa berakhirnya pergelaran wayang kulit dan semua kembali pada keadaan awal. Menurut Sastroamidjojo (1964: 199), adegan ini melambangkan ajaran Ngelmu Kejawen yaitu sangkan paraning dumadi. Manusia awal kehidupannya berasal dari Tuhan, hidup di dunia untuk melaksanakan tugas dari Tuhan atau beribadah, dan akhirnya nanti akan kembali kepada Tuhannya.


Adegan Tancep Kayon
Adegan Tancep Kayon

 

WAYANG GOLEK

Pada mulanya pergelaran wayang kulit diakhiri dengan pergelaran wayang golek, yaitu dengan memainkan boneka dari kayu. Adegan ini merupakan sebuah pasemon. yaitu berasal dari kata golek dalam bahasa Jawa yang berarti cari. Maka dengan disajikan pergelaran wayang golek ini, dalang mempunyai maksud yang tersembunyi atau tersirat yaitu para penonton diharapkan bisa mencari isi pergelaran wayang kulit yang sudah disajikan. Sastroamidjojo (1964: 199) mengatakan, arti wayang golek ini adalah seruan golekana yang berarti carilah dengan mendalam isi serita wayang kulit yang baru diakhiri atau ringkasnya adalah renungkanlah. Penonton ketika selesai melihat pergelaran wayang kulit diharapkan bisa mencontoh hal baik dan meninggalkan hal yang buruk dalam pergelaran. (*)

No comments:

Post a Comment