Breaking

Wednesday, September 23, 2020

ETIKA JAWA DALAM SERAT WIRA ISWARA

Etika Jawa dalam Serat Wira Iswara

Pembahasan ini perlu dimulai dengan pemahaman mengenai cakupan etika Jawa. Kata etika berasal dari bahasa asing. Endraswara (2010: 33) mengatakan, etika berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani, yang artinya adat kebiasaan. Kata ethos selanjutnya dijadikan landasan oleh Aristoteles di dalam mengartikan kata etika yang mempunyai hubungan dengan moral yang berasal dari kata mores dalam bahasa Latin.

Pada perkembangan selanjutnya kata etika dan moral itu dianggap mempunyai kedudukan yang sama, yaitu mempunyai arti suatu adat kebiasaan. Menurut Suseno (2003: 6), etika mempunyai arti semua norma dan penilaian yang digunakan oleh masyarakat tersebut untuk mengetahui bagaimana manusia itu harus menjalani hidup.

Pada hakikatnya, etika Jawa bisa disebut sebagai sistem moralitas atau keutamaan Jawa (kepunyaan orang Jawa atau berwatak njawani). Etika Jawa yang disampaikan dalam pembahasan dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan peran masing-masing di dalam masyarakat. Pembahasan itu secara detail sebagai berikut.

 

ETIKA JAWA UNTUK WONG NGALUHUR

Wong ngaluhur adalah golongan masyarakat yang mempunyai strata sosial sekaligus kelas sosial yang tinggi. Segala sikap yang dilakukan oleh wong ngaluhur itu akan menjadi sorotan masyarakat, bahkan bisa saja menjadi contoh yang juga ditiru oleh masyarakat. Etika Jawa membahas kehidupan wong ngaluhur sebagai suri tauladan, khususnya di dalam SWI ini. Karya sastra ini menunjukkan posisi wong ngaluhur itu dengan contoh seorang bangsawan atau negarawan. Petikan ini akan memperjelas keterangan tersebut. 

 

atur ulun ingkang wus kawijil

sayogya rinaos

dhuh gustiku wus ndungkap wektune

akil baleg wajibe ngawruhi

prakaraning nagri

paraboting hukum (WR. P.V.1)

 

murat maksude kudu ginalih

lan ngulama kaot

supaya trang ing galih tan cewet

tinimbanga lan adating nagri

ingkang wus linuri

leluhur pra ratu (WR. P.V.3)

 

kudu-kudu linalar linuri

luhuring kaprabon

sinuksmeng tyas priye bubukane

saking asor dadi luhur yekti

tinanyakna maring

para sepuh-sepuh (WR. P.V.3)

 

Golongan sosial wong ngaluhur pada zaman dahulu (pada Kerajaan Surakarta) terdiri dari pemimpin kerajaan, kesatria, dan kaum bangsawan. Pencerminan wong ngaluhur pada zaman sekarang adalah para pemimpin negara maupun daerah. Nasihat yang ditujukan pada pemimpin dari dalam petikan itu, pemimpin menjalankan tugas pemerintahan (berhubungan dengan ketatanegaraan dan hukum), belajar ilmu kehidupan, dan memperhatikan pertimbangan para ahli di bidangnya. Semua tanggung jawab tadi dilakukan dengan maksud untuk menciptakan pemerintahan yang berwibawa dengan membangun citra yang baik dari sudut pandang rakyat dan mitra kerja dari negara lain.

 

ETIKA JAWA UNTUK WONG CILIK

Wong cilik merupakan golongan dari strata sosial dan kelas sosial yang rendah. Strata sosial atau kelas sosial ini sering kali terlupakan karena pengaruhnya dalam masyarakat kurang dirasakan. Walaupun demikian, etika Jawa juga tetap membahas kewajiban-kewajiban wong cilik yang dibalut dengan norma-norma masyarakat. SWI mempunyai beberapa bagian yang menunjukkan etika Jawa yang harus dimiliki oleh wong cilik. Penggambaran dari keterangan itu dapat diperhatikan dalam petikan ini.

 

kalosa kentaring toya (sarah)

jobin citra wijil Eropah nagri (marmer)

den merak ati ing tembung

sumarah ing sakarsa

marang gusti suling kukila kang muluk (sawangan)

arka kang munggeng wadana (tingal)

sawangen tingaling gusti (WPa. P.VII.3)

 

Wong cilik merupakan status sosial dan kelas sosial yang berada di bawah wong ngaluhur. Golongan ini juga mempunyai etika atau kewajiban yang harus ditunaikan, yaitu mengabdi kepada negara. Etika yang dapat digunakan untuk mengabdikan diri kepada negara adalah menyenangkan hati dan menerima (merak ati dan sumarah) terhadap perintah pemimpin negara. Etika ini akan melandasi sikap mengutamakan kepentingaan bersama (kelompok atau negara) di atas kepentingan pribadi.

 

ETIKA JAWA UNTUK PARA PUTRI

Para putri atau perempuan merupakan sosok yang berperan penting dalam kehidupan. Walaupun peran para putri tidak kelihatan secara langsung, namun perannya sebagai seorang istri yang mendukung kegiatan suami dan sebagai seorang ibu yang membimbing putranya itu sangat vital. Para wanita bisa mementukan kebaikan untuk suami dan putranya, sehingga para putri tidak boleh dipandang sebelah mata. Dalam kehidupan bermasyarakat, etika Jawa juga membalut peranan para putri supaya tidak keluar dari peran yang baik. SWI ini banyak membahas etika Jawa untuk para putri, petikan ini sebagai contoh.

 

lawan ana kojah ingsun

saking eyangira swargi

pawestri elinga sira

lamun ginawan dariji

lelima puniku ana

dununge sawiji-wiji (SDd. P.I.11)

 

jejempol ingkang rumuhun

panuduh kang kaping kalih

panunggul kang kaping tiga

kaping pat dariji manis

dene ta kang kaping lima

wekasan aran jejenthik (SDd. P.I.12)

 

kawruhana karsanipun

mungguh semuning hyang widhi

wong wadon wus ginawanan

dalil panggonaning estri

iku wajib kinawruhan

karepe sawiji-wiji (SDd. P.I.13)

 

mula ginawan sireku

jejempol marang hyang widhi

den kayem pol manahira

yen ana karsaning laki

tegese pol den agampang

sabarang karsaning laki (SDd. P.I.14)

 

mula ginawan panuduh

aja sira kumawani

nikelken tuduhing priya

ing satuduh anglakoni

panunggul pan ginawanan

iku sasmita sayekti (SDd. P.I.15)

 

prihen ta karyane unggul

miwah lamun apaparing

iya sira unggulena

sanadyan amung sathithik

wajib sira unggulena

mring guna kayaning laki (SDd. P.I.16)

 

marmane sira puniku

ginawan dariji manis

dipun manis netyanira

yen ana karsaning laki

apa maning yen angucap

ing wacana kudu manis (SDd. P.I.17)

 

aja dhoso amarengut

nora merakaken ati

ing netya dipun sumringah

sanadyan rengu ing batin

yen ana ngarsaning priya

buwangen aja na kari (SDd. P.I.18)

 

marmane ginawan iku

iya dariji jejenthik

dipun athak kaithikan (thak-thik)

yen ana karsaning laki

karepe athak ithikan

den tarampil barang kardi (SDd. P.I.19)


Kedudukan seorang wanita atau putri ini sering kali menjadi perdebatan di masyarakat. Ada golongan yang menganggap rendah seorang wanita, namun tidak sedikit yang mendukung emansipasi wanita. Masyarakat Jawa dengan beberapa karya sastra yang ada, telah membahas kedudukan wanita dengan berbagai keistimewaan. Susuhunan Paku Buwana IX membahas kedudukan seorang wanita berdasarkan etika Jawa yang dibalut dengan filosofi driji lima (jari lima). Penjelasannya seperti ini.

  • Jempol, artinya seorang istri akan ayem pol sesuai dengan perintah suami.
  • Panuduh, yaitu seorang istri harus memperjelas atau melakukan panuduh (petunjuk) suaminya.
  • Panunggul, merupakan gambaran seorang istri harus melakukan perintah suami dengan unggul (hasil yang baik).
  • Manis, berati seorang istri harus mempunyai wajah (berpenampilan) manis kepada suami.
  • Jenthik, yaitu seorang istri harus bisa othak-athik atau mempunyai keterampilan.

 

ETIKA JAWA UNTUK PARA PUTRA

Para putra sebagai generasi penerus tentu bisa berperan sebagai kelompok yang penting dalam masyarakat. Para putra yang mempunyai semangat yang membara, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Mereka membutuhkan suatu pedoman dan contoh langsung di dalam kehidupan supaya tidak salah dalam melangkah. SWI menampilkan beberapa etika Jawa yang harus diperhatikan oleh para putra sehingga menjadi generasi penerus yang baik. Petikan ini menunjukkan contoh etika Jawa untuk para putra.

 

semuning nom nampaa wulang utami

kang kanggo neng praja

lumrahing jamanireki

aywa luwih lawan kurang (WPa. P.VIII.9)

 

pasemone kuda curigestri tulis

jarwane mangkana

kuda den kuwat tarampil

curiga landheping cipta (WPa. P.VIII.10)

 

wanitadi den bisa ngenaki ati

tur manising sabda

karya kayungyuning laki

sastra parigeling basa (WPa. P.VIII.11)


Berdasarkan petikan tadi, etika Jawa yang harus diperhatikan oleh pemuda itu difirasatkan dengan ungkapan kuda curigestri tulis. Maksud dari ungkapan itu, adalah kuda artinya kuat dan terampil, curiga berarti tajam dalam pikiran, estri berarti harus bisa menyenangkan hati lan bersikap manis ketika berbicara sebagai sarana untuk menarik perhatian laki-laki, dan tulis (sastra) itu berati pandai dalam berolah bahasa dan sastra (ilmu pengetahuan). Konteks yang terjadi di zaman sekarang seperti petikan ini.

 

ETIKA JAWA UNTUK GURU

Peran guru di dalam masyarakat juga tidak kalah penting. Guru merupakan pengganti kedudukan orang tua di lingkungan sekolah. Tugas seorang guru yaitu menyampaikan ilmu sekaligus membimbing murid-murid dalam berperilaku yang baik. Mengingat tugas guru yang penting yaitu menentukan arah hidup generasi penerus bangsa, tentu saja seorang guru juga harus berpengetahuan luas dan berperilaku yang baik. Berkaitan dengan perilaku guru, di dalam SWI dibahas beberapa etika Jawa yang harus diperhatikan oleh guru. Petikan ini merupakan salah satu etika Jawa seorang guru.

 

heh mulane nguni bener wulangipun

kaping pat sri narapati

lamun sira anggeguru

ngulama kang nora melik

ya marang pawewehing wong (WPa. P.X.12)


Kedudukan seorang guru dalam masyarakat sangat penting. Guru sering dikaitkan dengan sosok yang perannya sebagai penyampai ilmu. Masyarakat Jawa berusaha membuat sebuah ungkapan melalui jarwa dhosok guru yaitu digugu lan ditiru. Maka setiap perilaku dan ucapan seorang guru harus diperhatikan, jangan sampai sebagai penyebab kerusakan pada budi pekerti murid. Khazanah sastra Indonesia juga mempunyai ungkapan, guru kencing berdiri murid kencing berlari, artinya semua perbuatan guru akan menjadi contoh murid-muridnya. Semua pengabdian guru harus dilandasi dengan sikap tanpa pamrih. Sikap guru ini diabadikan dalam hymne guru ciptaan Sartono. (*)

No comments:

Post a Comment