Breaking

Friday, October 9, 2020

CERPEN: JALAN PINTAS

Jalan Pintas

Sudah menjadi hal lumrah jika ada siswa yang pandai atau berprestasi, yang ditanyakan adalah siapa orang tuanya, sedangkan jika ada anak yang kurang tertata akhlaknya, yang ditanyai adalah siapa gurunya. Guru seakan-akan menjadi salah satu pemegang tonggak tegaknya akhlak anak bangsa ini.

Termasuk dalam masa pandemi yang terjadi sekarang ini. Adanya pandemi ini banyak mengubah tatanan kehidupan termasuk dalam dunia pendidikan. Pembelajaran yang biasanya berlaku secara konvensional, sekarang berbalik 360 derajat menjadi pembelajaran berbasis daring.

Sore hari menjelang matahari terbenam, Lila teringat untuk mengunjungi anak didiknya yang tidak pernah mengerjakan tugas daring. Suara jarum jam yang berdenting di kamar, menjadi teman kesendiriannya memikirkan nasib putra didiknya yang tidak bisa mengenyam pendidikan berbasis Daring dari gurunya di sekolah.

Memang, dia adalah seorang guru rantauan yang berasal dari kota Jombang dan hidup secara mandiri menempati rumah kos di daerah Babatan. Rumah kos yang biasanya ribut dengan hiruk pikuk mahasiswi Unesa tersebut sekarang sepi sunyi karena pandemi.

 

“Pak Arif, ayo kita ke rumah Dika!” ajak Bu Lila kepada guru BK yang menangani kelasnya.

“Loh Bu, ini sudah sore, di luar jam kerja kita. Mengapa Anda mengajak saya tidak dari tadi pagi saja?” tanya Pak Arif heran.

“Iya, sebelumnya saya minta maaf Pak. Saya mendapat info dari Ari, tetangganya Dika yang juga sekolah di sekolah kita, kalau Dika dan orang tuanya biasanya ada di rumah saat sore hari. Mungkin karena kesibukan orang tua Dika bekerja” terang Bu Lila pada Pak Arif.

“Oalah, kalau seperti itu keadaannya, saya siap Bu. Kita langsung ketemu di rumah Dika.”

 

Setelah mengalahkan rasa ngantuk yang melandanya, Bu Lila langsung mengemudi sepeda motornya menuju ke Sumur Welut, tempat tinggal Dika. Sesuai informasi dari Ari, memang sore hari itu keadaan rumah Dika lengkap. Rumah sederhana dengan polesan cat tembok yang hampir pudar itu menjadi saksi bisu sayangnya guru terhadap siswanya.

 

Assalamualaikum Bu. Saya Bu Lila wali kelasnya Dika dan ini Pak Arif selaku guru BK-nya,” Bu Lila memperkenalkan dirinya kepada Ibu Dika.

Waalaikumsalam Bu. Saya ini tadi mau nyapu,” jawab ibu Dika dengan ketus sembari membersihkan lantainya dengan sapu.

 

Muncul rasa heran pada benak Bu Lila. Memang Bu Lila masih jauh lebih muda dari ibu Dika. Bu Lila juga belum menikah, belum berpengalaman dalam menjadi orang tua. Tapi dia paham kalau apa yang dilakukan oleh orang tua Dika kurang pantas dilakukan. Setelah menunggu ibu Dika selesai menyapu, barulah tikar tergelar dan percakapan antara guru dan orang tua membahas peserta didik pun dimulai.

 

“Mohon maaf sebelumnya Bu, Dika sudah lama tidak mengerjakan tugas Daring dari sekolah apa ada kendala? Kapan hari dia saya whatshapp, saya telpon, tetapi tidak ada balasan,” tanya Bu Lila penasaran.

“Ya memang ada kendala Mbak di anak saya. Dia tidak punya HP dalam mengerjakan tugas. Terus bagaimana? Apa saya harus tidak makan demi sekolah anak saya? Saya bekerja di pabrik plastik sementara bapaknya Dika hanya sebagai cleaning service,” jelas ibu Dika.

“Dika ini anak ibu yang ke berapa?” Pak Arif mencoba menelusuri keluarga Dika.

“Anak tunggal Pak. Tapi tetap saja saya tidak mampu mencukupi kebutuhan HP Dika. Lebih baik uang kami untuk kebutuhan sehari-hari yang mendesak.”

 

Merasa percapakan sore itu tidak menemui titik temu, pada akhirnya Bu Lila dan Pak Arif mengalah. Mereka menyarankan Dika untuk melaksanakan pembelajaran secara Luring (luar jaringan) dengan cara Dika mengambil tugas di sekolah sekaligus mengembalikan tugas yang dikerjakan pada hari Jumat.

Setelah Bu Lila dan Pak Arif pulang dari rumah Dika, ayah Dika mencoba untuk berdiskusi dengan istrinya yang memang sifat dasarnya hanya mau menang sendiri itu.

 

Buk, awake dhewe ki sakjane rak bisa nukokne Dika HP ta?” tanya ayah Dika yang mencoba untuk memfasilitasi sekolah putranya.

“Ora bisa Pak. Arep nggo apa Pak? Sekolah Daring ngene ki mesthi mengko anake dhewe lulus. Saiki lho bocahe wis kelas sanga, wis ta percayaa karo aku, mesthi Dika ya bakale lulus.”

“Ora lho Buk, sakjane sekolah kuwi ora mung mbutuhi luluse ta, bakune sing luwih penting rak ngelmune?”

“Nggo apa Pak ngelmu saiki? Deloken kae lho Pak anake Pak Karjo, sing jenenge Karti. Karti kuwi awit cilik sekolahe juara terus. Sawise lulus SMA njur nerusne kuliyah. Saiki mulang neng SMP swasta. Sampeyan weruh pira gajine? Gajine kuwi lho Pak, sik kalah karo sampeyan sing mung dadi tukang resik-resik, sing mung lulusan SMA.”

“Nanging Buk, wong urip sing digoleki ora mung ngupaya bandha donya. Nebar ngelmu marang sapepadha uga tumindak sing utama.”

“Halah Pak, aku ki wis ora cocog karo pamikire sampeyan. Wong urip ya sing penting bandha donya Pak. Buktine yen nduwe bandha donya ya diajeni wong akeh, beda karo wong sekeng kaya awake dhewe ngene ki. Ora ana sing ngajeni.”

“Sejatine Buk, ajine wong kuwi ora mung saka bandha donya sing diduweni. Tumindake awake dhewe uga nemtokake wong bakal ngajeni awake dhewe apa ora. Awake dhewe ki dadi wong tuwa kudu tanggung jawab nyukupi kabutuhane anak.”

“Ora bisa Pak, aku luwih ngutamakne perawatan Pak. Aku ki isin yen disawang kanca-kancaku sing saiki raine sing wis padha glowwing merga perawatan. Sampeyan bayangke, aku wis trima manggon omah ing kene. Kahanane ciyut, nyandi-nyandi cedhak. Neng jedhing cedhak, neng pawon cedhak, neng kamar cedhak. Masia kaya ora bisa unteg ya panggah taktampa.”

“Tapi panggah Buk, manut panemuku, Dika ki butuh hape kanggo sinaune saiki. Mbok sampeyan sisihne dhuwite nggo tuku HP elek-elekan kanggo Dika supaya dheweke bisa sinau, bisa maju kaya kanca-kancane. Perkara perawatan ora perlu sakjane merga aku ki wis nampa sampeyan apa anane.”

“Wegah pokoke Pak. Penting mengko Dika lulus oleh ijasah nerusne sekolah lan bisa golek dhuwit rak ya cukup. Aku wis angkat tangan nek kon nukokne Dika HP. Aku kesel Pak saben dina kerja, mulih sore-sore kok mung arep nyenengne awak nganggo perawatan wae ora oleh.”

“Sampun Pak, Bu, mboten sisah dilajengaken malih! Kula tampi menawi kedah sinau lumantar Luring mawon,potong Dika karena sudah tidak tahan melihat pertengkaran kedua orang tuanya.

“Ora apa-apa tenan ta Le? Bapak ngrasa luput ora bisa nyukupi kabutuhanmu.”

“Inggih Pak, mboten napa-napa. Kula nggih biasane saged sinau lumantar TV9 Pak. Wonten program sinau kaliyan guru.”

“O.. yen kaya mangkono, sing sabar sik ya Le.”

“Inggih Pak.”

 

Percakapan antara anak dan orang tua tersebut ditutup oleh kerelaan hati seorang anak yang tidak menuntut orang tuanya untuk memenuhi fasilitas belajarnya secara maksimal. Memang Dika dan keluarganya merupakan keluarga dari kalangan tidak mampu. Ibu dan ayahnya hanya lulusan SMA. Mereka hanya tinggal di rumah satu petak yang tempat antara kasur, ruang tamu, ruang keluarga tidak bisa dibedakan.

Ibu Dika yang bekerja sebagai karyawan pabrik dan ayahnya yang bekerja menjadi satpam sebenarnya hasilnya cukup untuk membelikan Dika HP. Tetapi prioritas pemikiran Ibu Dika tidak untuk kebutuhan sekolah  melainkan untuk penampilannya. Hal ini yang membuat Dika harus menerima keadaan. Dalam hatinya tersimpan rasa iri kepada temannya.

Pada suatu sore secara tidak sengaja Bu Lila berjumpa dengan Dika di daerah dekat sekolah. Dika membawa merpati untuk diadu. Melihat wali kelasnya memergokinya, Dika merasa kaget.

 

“Dik, suka main merpati di sini?” tanya Bu Lila.

“Iya Bu” jawab Dika samar-samar karena takut.

“Uang itu kamu dapat dari adu merpati?” Bu Lila mencari tahu

“Bu...Bu.. Bu... kan Bu. Ini uang dari Ibu,” jawab Dika dengan terbata-bata.

“Sekolah itu bukan hanya untuk mendapatkan kepandaian Dik, tapi ada hal yg lebih penting daripada itu. Kamu tahu? Pembentukan karakter sangat penting untukmu. Kalau dari kecil kamu berbohong maka akan menjadi hal biasa nantinya saat kamu dewasa” nasihat Bu Lila.

“Iya Bu, saya jujur, saya mengumpulkan uang agar bisa membeli HP untuk belajar secara daring. Saya kalau sore hari begini adu merpati, sedangkan kalau pagi saya mengamen.”

“Tetapi Dik, coba sekarang kamu pikirkan! Apa uang yang kamu dapat dengan cara seperti ini nantinya akan membawa keberkahan untuk ilmumu? Segala sesuatu yang baik seharusnya juga diupayakan dengan yang baik pula.”

“Iya Bu, saya janji tidak akan mengulangi hal ini lagi.”

 

Bu Lila iba mendengar cerita dari siswanya tersebut. Dia paham betapa sulitnya Dika menjalani pembelajaran secara Daring ini. Dia memikul beban itu sendirian, tanpa bantuan dari kedua orang tuanya.

Selang seminggu sejak pertemuan Bu Lila dengan Dika tersebut, Bu Lila mendapatkan pesan whatsapp dari Dika. Terbesit dalam pikiran Bu Lila kalau Dika sudah cukup uang untuk membeli HP.

 

“Selamat pagi Bu. Saya Dika siswa kelas 9A. Saya mau memberitahukan kalau saya sudah bisa Bu melakukan pembelajaran secara daring. Saya sudah punya HP.”

 

“Oalah.. Syukurlah kalau begitu Dik. Lebih semangat lagi ya belajarnya?”

“Iya Bu.”

 

Bu Lila merasa beban tanggung jawabnya untuk memikirkan Dika sekarang sudah mulai berkurang. Dia tidak perlu lagi mengoordinir soal-soal maupun materi yang awalnya setiap minggu harus diambil oleh Dika. Tetapi hal tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Suatu malam Bu Lila mendapat telepon dari kepolisian.

Dika yang selama ini dipikirnya adalah anak yang baik, yang polos, tidak mau menyusahkan kedua orang tuanya ternyata telah mengambil jalan pintas. HP yang dia gunakan selama ini untuk pembelajaran Daring adalah hasilnya mencuri di warung kopi. Bu Lila diminta untuk datang ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian kalau Dika memang masih seorang pelajar.

 

“Dik, kenapa kamu melakukan hal tidak terpuji seperti ini? Jujur saya kaget. Saya tidak menyangka kalau kamu akan melakukan perbuatan ini,” Bu Lila menncoba mencari tahu alasan Dika.

“Saya kepepet Buk. Setiap hari saya harus mendengar orang tua saya yang bertengkar karena kebutuhan sehari-hari. Teman-teman juga terus-terusan mengejek saya karena tidak punya hp. Saya tidak kuat lagi,” jawab Dika diiringi dengan isakan tangis.

“Tetap saja Dik, perbuatan seperti ini tidak bisa dibenarkan. Kamu harus paham kalau ada hak orang lain yang tidak bisa kamu ambil seenaknya.”

 

Di sela-sela Bu Lila menanyai Dika, ibu dan ayah Dika pun datang dengan tergopoh-gopoh. Ayah Dika dengan mata berkaca-kaca menatap wajah anaknya.

 

“Pak, kaya ngene ki salahe sapa sakjane?” tanya ibu Dika kepada suaminya.

“Wis Buk, sing salah awake dhewe. Dika ki sik cilik, anak polah bapa kepradhah. Tingkah polahe anak bakal dadi tanggung jawab wong tuwane Buk.”

“Ya emoh Pak. Iki mono ya salahe sampeyan. Sampeyan ora bisa nyukupi kabutuhanku karo Dika. Kudune sampeyan rak bisa kerja sing luwih penak supaya ngasilake dhuwit sing akeh. Eling, sampeyan ki kepala keluarga lho.”

“Iya Buk, aku ya sadhar yen iki pancen luputku. Luputku dadi wong lanang ora bisa nyukupi butuhe anak bojoku.”

“Sudah Pak, saya minta bapak dan ibu menyudahi untuk beradu mulut di sini!” potong Polisi yang menangani kasus Dika.

 

Dika yang terlalu sering melihat orang tuanya berselisih paham, waktu itu hanya bisa diam. Mulutnya seakan terkunci. Dia sudah angkat tangan menghadapi sikap kedua orang tuanya. Dika paham kalau perbuatannya ini akan membawa dampak besar pada dirinya. Orang tua yang seharusnya menjadi cerminan untuk dirinya, nyatanya cermin itu telah retak sebelum digunakan untuk berkaca. (*)

No comments:

Post a Comment